OPINI – Tahun 2014 adalah tahun politik. Tahun yang diprediksi akan menjadi tahun ingar-bingar politik pada saat rakyat melaksanakan pesta demokrasi.Politik akan berkembang sangat dinamis seiring dengan makin intensnya aktivitas partai politik, para politikus, dan elite serta semua pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.Tekad untuk memenangi pemilihan umum (pemilu) membuat partai menerapkan strategi taktik jitu mendongkrak elektabilitasnya, baik melalui konvensi maupun perekrutan tokoh-tokoh tertentu di luar partai.
Isu-isu krusial apa saja yang akan muncul? Dan, hal-hal yang perlu dicermati? Misalnya, kemungkinan munculnya konflik. Dalam kondisi seperti ini, prinsip menjaga harmoni politik dan budaya saling menghormati suatu keniscayaan.
Di samping itu, pemimpin yang mampu menegakkan hukum dan membangun demokrasi. Hal ini mengingat aktivitas bisnis memerlukan kepastian politik dan hukum.
Dari perspektif politik, kebijakan politik pemimpin akan berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha. Peraturan yang jelas dan mengikat akan memberikan kejelasan dan mengikat pula bagi dunia usaha.
Regulasi yang probisnis akan menciptakan peluang positif dan memberikan kenyaman bagi dunia usaha.
Hasil pelitian kami pada tahun 2007–2008 mengenai birokrasi dan daya saing lokal membuktikan bahwa regulasi menjadi penghambat utama bagi aktivitas bisnis. Karena regulasi pula, penguasa/investor enggan masuk ke daerah.
Tidak hanya regulasi yang menghambat, tetapi juga perlakuan pemerintah daerah (pemda) yang membuat penguasa/investor enggan datang. Oleh karena itu, pemilu harus menghasilkan pemimpin yang bisa memberikan rasanya nyaman pada dunia usaha dengan peraturan-peraturan yang jelas dan mengikat.
Tak pelak lagi tahun 2014 merupakan tahun politik. Untuk keempat kalinya pada era reformasi, Indonesia akan disuguhi oleh ingar-bingar pesta demokrasi untuk memilih anggota legislatif (aleg), presiden dan wakil presiden baru. Daftar calon anggota legislatif (caleg) pun sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan beberapa parpol telah pula mendeklarasikan calon presidennya (capres).
Di tingkat nasional, ada 12 parpol nasional yang akan bertarung. Selain sembilan parpol yang ada di parlemen saat ini, ada juga dua parpol lama nonparlemen, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Satu-satunya parpol baru peserta Pemilu 2014 adalah Partai Nasionalis Demokrat (Nasdem).
Seperti pileg dan pilpres lalu, tantangan terbesar Pemilu 2014 adalah kemungkinan meningkatnya angka golput dan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap parpol.
Kasus-kasus korupsi di partai dan parlemen justru makin membuat gerah dan frustrasi rakyat. Sebab, apalagi yang tersisa ketika korupsi telah menimpa petinggi lembaga negara, menteri, Kepala Badan SKK Migas, Ketua MK, dan ketua umum/presiden partai?
Pascapemilu 2014 sulit mengharapkan turunnya praktik korupsi secara signifikan. Sebab, persoalan utamanya masih tetap sama, yakni mahalnya ongkos politik (diperkirakan antara Rp0,5 miliar dan Rp5 miliar). Dengan kondisi tersebut, sistem rekrutmen pencalegan cenderung menomorsatukan modal (gizi) dan kedekatan ketimbang kualitas, integritas, moral, dan pengabdian. Maka, tak mengherankan bila muncul banyaknya caleg dadakan karena pemilu seolah telah menjadi semacam perjudian nasib.
Dominasi Parpol Besar
Lepas dari berbagai macam prediksi hasil survei selama ini, Pemilu 2014 tampaknya akan tetap dikuasai tiga parpol nasionalis besar hasil Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Hanya peringkatnya saja yang mungkin berubah.
PDI Perjuangan dan Partai Golkar agaknya yang akan bersaing ketat memperebutkan posisi pertama dan kedua, sedangkan Partai Demokrat yang dilanda kasus-kasus korupsi bisa jadi akan melorot ke posisi ketiga.
Sebagaimana Partai Golkar, pengalaman pemilu selama ini menunjukkan bahwa umumnya penurunan partai besar tak membuatnya jatuh drastis. Sangat mungkin Pemilu 2014 milik PDI Perjuangan, menyalip Partai Golkar dan Demokrat. Selain paling solid dan konsisten sebagai partai oposisi, PDI Perjuangan juga merupakan satu-satunya partai berkepala banteng yang tersisa.
Partai berkepala banteng lainnya, seperti PNI Marhaenisme dan Partai Banteng Nasional Kerakyatan (PNBK) tak lagi menjadi peserta pemilu.
Partai Golkar sendiri agaknya akan tetap berada di posisi kedua sebagaimana Pemilu 2009. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya soliditas internal partai, khususnya, berkenaan dengan proses pencapresan Aburizal Bakrie. Selain itu, Partai Golkar juga didera oleh larinya sebagian elite dan kadernya yang mendirikan Partai Nasdem (2011). Bagaimanapun hal tersebut cukup mengganggu.
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 kiranya akan menjadi pertaruhan hidup mati, khususnya di kalangan partai menengah dan bawah.
Kuat dugaan naiknya angka parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen (2009) menjadi 3,5 persen (2014) akan mendorong terjadinya penyederhanaan parpol sehingga jumlah parpol yang berhasil melenggang ke Senayan (parlemen) akan mengalami pengurangan atau kurang dari sembilan parpol.
Tantangan terbesar kiranya akan dialami oleh parpol “Islam”, seperti PKS, PPP, PAN, PKB, dan PBB. Persaingan sengit akan terjadi di antara mereka dalam memperebutkan kaveling partai Islam yang cenderung mengecil.
Dengan redupnya politik aliran, secara perlahan tetapi pasti, suara tradisional partai Islam cenderung terserap ke parpol nasionalis. Masalahnya, karena parpol Islam gagal menunjukkan perbedaan substansialnya dengan parpol nasionalis dan tidak memperlihatkan dirinya sebagai partai “bersih”.
Fakta juga membuktikan bahwa mereka lebih cenderung berkoalisi dengan partai nasionalis ketimbang dengan sesama partai Islam.
Meskipun didera kasus korupsi yang menimpa mantan presidennya, Lutfhi Hasan Ishaq, agaknya PKS masih cukup aman karena berbeda dengan partai Islam lainnya, dia merupakan partai kader. Persaingan agak seimbang terjadi di antara PAN, PPP, dan PKB. Bukan tak mungkin posisi mereka akan terancam mengingat selama ini ketiganya cenderung memperlihatkan sikapnya sebagai anak manis partai pemerintah, Partai Demokrat.
Dibandingkan PAN dan PPP, PKB kiranya yang posisinya paling rentan. Selain persebaran konstituennya yang tak merata (basis utamanya di Jawa Timur), PKB juga terganggu karena perseteruannya dengan Yenny Wahid dan pendukungnya yang keluar dari PKB dan mendirikan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN, 2011).
Partai Islam yang kemungkinan besar tidak masuk lagi ke Senayan adalah PBB. Dari beberapa pemilu tampak jelas bahwa basis massanya sangat kecil dan tidak signifikan. Hal ini sekaligus menunjukkan lemahnya pengaruh ketokohan Yusril Ihza Mahendra, tokoh utamanya.
Di kalangan partai nasionalis yang paling rentan adalah PKPI. Selama ini posisinya boleh dibilang sama dengan PBB. Sebagaimana diketahui, pada Pemilu 2009 PKPI tak mampu menembus PT.
Selain itu, ada Gerindra, Hanura, dan Nasdem. Meskipun ditopang media besar, posisi Hanura cukup sulit untuk mendongkrak dirinya. Pada Pemilu 2004, dia menjadi partai terkecil di Senayan (3,5 persen suara). Lepas dari dugaan isu kontroversi mengenai pelanggaran HAM yang dikaitkan ke tokoh utamanya, figur Wiranto juga agak kurang menggigit. Hal ini terlihat dari dua kali kekalahannya dalam dua pilpres lalu (sebagai capres 2004 dan cawapres 2009).
Nasib Gerindra agaknya tak jauh beda dengan Hanura meskipun sedikit lebih baik. Kecuali Demokrat dengan SBY-nya, salah satu problem parpol yang tokoh sentralnya “purnawirawan militer” adalah sulitnya mengubah persepsi publik tentang watak kepemimpinan militernya. Hal tersebut juga dialami oleh PKPI.
Angin segar bisa jadi menimpa Nasdem. Sebagai parpol baru, bukan tak mungkin dia akan menjadi kuda hitam. Organisasi partai tersebut tampak rapi. Setidaknya terlihat dalam verifikasi partai oleh KPU.
Lepas dari analisis di atas, parpol mana pun yang menjadi pemenang Pemilu 2014 seharusnya bukan hal yang perlu dirisaukan. Yang terpenting adalah bahwa parpol pemenang pemilu tersebut idealnya merupakan parpol yang paling mampu memahami kehendak rakyat.
Oleh karena itu, pemilu harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas penyimpangan dan ketidakadilan atau ketidakbenaran dalam berpolitik dan bernegara.
Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat harus bisa memberi hukuman (punishment) pada parpol/caleg yang berkhianat dengan tidak memilihnya dan memberikan dukungan (reward) pada parpol/caleg yang lebih amanah. Tak peduli parpol apa pun. Hal tersebut penting sebagai pembelajaran. Akan tetapi, sayangnya kebanyakan rakyat bukan saja tidak memahami arti kedaulatan rakyat, melainkan juga bersikap apatis dan permisif pada korupsi.
Sikap apatis rakyat tersebut, misalnya, terlihat dari rendahnya dukungan buruh pada aksi demonstrasi antikorupsi. Berbeda dengan demonstrasi UMR, bagi buruh demonstrasi antikorupsi sepertinya dianggap tak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Padahal, salah satu persoalan utama rendahnya UMR buruh adalah karena perusahaan harus mengeluarkan dana siluman yang besar.
Menurut hasil survei Bank Dunia (World Bank), biaya siluman mencapai 19–24 persen dari total biaya produksi, sementara komponen gaji karyawan hanya 9–12 persen dari total biaya produksi. Dengan kata lain, bila korupsi dapat ditekan, kenaikan UMR buruh dapat menjadi sangat signifikan.
Berkenaan dengan hal itu, kerja keras jelas harus dilakukan, baik oleh KPU, Bawaslu, DKPP, pemerintah, ormas, tokoh-tokoh informal, LSM maupun intelektual dan media massa dalam mendidik rakyat untuk menjadi pemilih yang cerdas dan tak mudah tergoda oleh politik uang. Lebih-lebih para pemilih pemula.
Jargon “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” harus dihindari karena hanya akan menumbuhsuburkan praktik korupsi. Jargon tersebut hendaknya diubah menjadi, “jangan ambil uangnya, jangan pula pilih orangnya”.
Sebagai pilar penting demokrasi, Pemilu 2014 akan menentukan masa depan Indonesia lima tahun ke depan. Pemilu harus menjadikan rakyat berdaulat, tercerahkan, dan terdidik secara politik. Pemilu juga harus menjawab tuntutan rakyat dan mampu menghadirkan perubahan nyata.
Oleh karena itu, sudah saatnya rakyat menggunakan hak politiknya untuk memilih pemimpin yang tepat, jujur, dan amanah demi kemajuan Indonesia.
Oleh Prof. R. Siti Zuhro, M.A.,Ph.D
*Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)