Jakarta – Pemerhati tumbuh kembang anak Seto Mulyadi (Kak Seto) mengatakan, pendidikan seks usia dini dapat dimulai sejak anak berusia dua setengah hingga tiga tahun.“Pada usia dua setengah sampai tiga tahun, anak-anak mulai memegang organ intimnya. Jadi, orang tua dapat memperkenalkan tentang kesehatan reproduksi pada usia tersebut,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Doktor psikologi anak dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu mengemukakan, orang tua kerap bingung memilih bahasa yang tepat untuk organ intim anak perempuan dan laki-laki, sehingga disarankan menggunakan kata penis untuk organ intim laki-laki dan vagina untuk organ intim perempuan.
“Kata penis dan vagina bisa digunakan dalam pendidikan seks kepada anak-anak, karena kedua kata tersebut lebih netral dari yang lainnya,” ujarnya.
Pendiri dan ketua pertama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu mengatakan, pendidikan seks bisa dimulai dari bagaimana menjaga kesehatan organ intim anak-anak, mulai dari harus dibersihkan setiap saat hingga tidak boleh memegang organ intim saat tangan kotor.
“Anak perlu tahu bahwa organ intim mereka perlu dijaga kesehatannya agar terhindar dari penyakit yang tidak diinginkan,” katanya.
Selain itu, menurut dia, orang tua juga perlu mengajarkan anak untuk menjaga keamanan organ intim mereka, misalnya menolak apabila orang lain ingin memegang, tidak boleh sembarangan disalahgunakan dan harus melindunginya dari orang lain dan saudara terdekat.
“Anak harus jadi garda terdepan untuk melindungi dirinya sendiri. Anak juga perlu diajarkan berteriak dan melapor kepada orang tua, apabila ada yang ingin meraba organ intimnya. Hal ini akan dilakukan anak hingga mereka dewasa,” ujarnya.
Ia mengemukakan pula, orang tua juga perlu mengajarkan agar anak tidak meraba atau mengganggu organ intim orang lain.
Menurut Kak Seto, pendidikan seks sebaiknya tidak boleh dilakukan terlalu massal, karena tingkat interpretasi setiap anak berbeda-beda, sehingga orang tua sangat berperan untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anak.
Namun demikian, ia menilai, seluruh pihak perlu berperan dalam melindungi anak dari kekerasan seksual, mulai dari rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), pemerintah daerah sampai pemerintah pusat.
“Apabila terjadi kekerasan kepada anak, maka tetangga, pihak RT dan RW sebaiknya langsung menanggapi hal tersebut. Misalnya, melaporkan kepada pihak berwajib,” ujar pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1951 itu.
Ia menambahkan, pihak berwajib disarankan untuk menindaklanjuti kasus tersebut sampai tuntas, jangan diabaikan dengan anggapan kasus tersebut hanya soal anak-anak. atn