Jakarta – Bergabungnya Partai Demokrat ke dalam barisan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa semakin menegaskan bahwa pasangan nomor urut satu itu sedang membangun koalisi gemuk. Prabowo-Hatta akan memaksimalkan kekuatan partai koalisinya untuk berjuang hingga pemilu presiden 9 Juli mendatang.
“Dalam konteks semacam ini, jelas Jokowi adalah capres yang tidak dikehendaki oleh oligarki politik dan bisnis yang menginginkan status quo dan jaminan ‘survivalitas’ mereka pasca-2014,” kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari Dwipayana melalui pesan elektronik, Selasa (1/7/2014).
Oligarki politik semacam ini, kata Ari, hanya bisa dihadapi dengan kekuatan koalisi yang dibangun bersama rakyat. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, menurut dia, bisa menjadi simbol kekuatan rakyat yang tengah berhadapan dengan kekuatan oligarki politik.
“Kebangkitan kekuatan rakyat melalui voluntarisme sesungguhnya tandanya sudah ada. Mulai dari relawan yang bekerja keras, dan dana gotong royong yang sudah terkumpul hampir Rp 100 miliar. Kekuatan ini tumbuh dengan sendirinya dan akan membuktikan dirinya, apakah kekuatan ini bisa menghadapi oligarki elite dari sisi suara,” kata Ari.
Terkait sikap Demokrat yang tiba-tiba berubah dari netral dan kini mendukung Prabowo-Hatta, Ari mencurigai, memang ada sesuatu yang disembunyikan sebagai strategi kampanye partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu.
“Dukungan SBY dan Partai Demokrat di tahap akhir putaran kampanye memperkuat indikasi keberpihakan SBY pada pasangan Prabowo dan Hatta sejak awal. Walaupun SBY pernah mengungkapkan akan mengambil posisi netral, namun dalam kenyataannya, sinyal keberpihakan semakin kuat,” kata Ari.
Salah satu contoh keberpihakan SBY, kata Ari, adalah sikap Istana yang tidak memberi sanksi kepada pemimpin redaksi tabloidObor Rakyat, Setyardi Budiono. Setyardi merupakan asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah.
Sebelumnya, Demokrat resmi menyatakan dukungan ke Prabowo Hatta. Dengan demikian, sudah ada tujuh parpol pendukung Prabowo-Hatta. Enam partai lain, yakni Gerindra, PAN, Golkar, PKS, PPP, dan PBB.
Sementara itu, pasangan Jokowi-JK “hanya” diusung lima partai, yakni PDI-P, Nasdem, Hanura, PKB, dan PKPI.