Malang – Medio 1980-an, situasi genting. Keinginan Soeharto untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal semua organisasi di Indonesia memicu perlawanan di mana-mana. Himpunan Mahasiswa Islam terbelah, Pelajar Islam Indonesia menolak dan tak diakui negara.
KH As’ad Syamsul Arifin diterpa kegelisahan. Ulama asal Situbondo itu menemui Soeharto. “Pak Harto ini maunya bagaimana? Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang agam Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini,” katanya.
Soeharto pun tersentak. “Oh nggak, nggak, nggak. Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila,” jawabnya.
Cerita itu disampaikan KH Abdul Muchit Muzadi, Mei 2015, dalam sebuah acara yang mendiskusikan ketokohan KH Achmad Shiddiq, salah satu ulama besar NU, di Universitas Jember.
As’ad meminta agar Soeharto mempertegas bahwa Pancasila hanyalah dasar negara, sementara agama adalah dasar hidup bersama. Pengurus Besar NU kemudian membentuk tim yang terdiri atas KH Ali Maksum, KH Mahrus Ali, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, dan KH Masykur untuk membahas dan menyepakati penerimaan Pancasila menjadi asas NU.
Tentu saja, penerimaan asas itu harus dilakukan di Musyawarah Nasional Alim Ulama pada 1983. Sepulang dari Jakarta, Achmad Shiddiq memanggil Muchit Muzadi yang waktu itu sudah hendak memasuki usia 60 tahun.
Kiai Achmad memerintahkan Muchit untuk menulis rumusan Pancasila sebagai asas organisasi NU. “Biasanya kalau bikin makalah yang berat-berat kamu membantu saya,” katanya.
Bukan tugas mudah bagi seorang Muchit Muzadi. Selama dua bulan penuh ia merancang makalah yang diminta Kiai Achmad. Jika kekurangan referensi, Muchit keluar-masuk toko buku. Hasilnya: sebuah makalah setebal 34 halaman siap dibacakan.
Tak ada nama Muchit di situ. Ia hanya ‘penulis bayangan’ bagi seorang ulama yang kelak dikenang sebagai salah satu tonggak yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Kiai Achmad rupanya puas dengan pekerjaan Muchit. Ia berpesan agar tak ada yang boleh membaca makalah itu sebelum dibacanya di Munas Alim Ulama NU. “Bahkan istrimu juga tidak boleh membaca,” katanya.
“Sami’na wa atho’na. Saya mendengarkan dan saya taat,” kata Muchit.
Abdul Qodim Manembodjo, salah satu pengurus NU Jember, mengatakan, Mbah Muchit tak pernah berusaha menonjolkan jasa atau ketokohan. Bahkan sepanjang hayat, Mbah Muchit jarang memakai atribut pakaian yang menandakan diri seorang kiai.
Tak memiliki pondok pesantren dan hanya mengasuh sebuah masjid di tepi Jalan Kalimantan, membuat Mbah Muchit selalu dekat dengan persoalan umat. Tahun 2012, ia pernah menyatakan penolakan terhadap menjamurnya pendirian toko modern berjaringan di Jember.
“Mini market berjaringan lebih kuat dalam bersaing dengan macam-macam toko tradisional, yang menyebabkan toko tradisional dirugikan atau malah tutup. Saya merasa perlu menyampaikan kepada pers, supaya penolakan ini diketahui banyak pihak,” katanya saat itu.
Mbah Muchit santun dalam menyentil penguasa. Sabtu, 23 Juni 2007, Bupati Jember MZA Djalal mengundangnya untuk hadir dalam acara silaturahmi kerakyatan. Djalal mengundang sejumlah tokoh untuk melakukan orasi dan kritik terhadap pemerintahannya.
Namun bukannya mengkritik keras, Mbah Muchit justru melemparkan sindiran-sindiran halus. “Kalau mencintai seseorang atau membenci seseorang itu yang biasa-biasa saja. Tidak perlu terlalu benci atau cinta, seperti anak-anak ABG,” katanya disambut tawa.
Mbah Muchit mengingatkan ahar pemimpin dan tokoh tak mudah mengklaim diri sebagai representasi kepentingan rakyat. “Ngomongnya kepentingan rakyat, tapi sebenarnya kepentingan sendiri,” katanya.
Hari itu, Mbah Muchit bicara soal kematian. “Saya pernah ditanya, kalau meninggal mau dikubur di mana. Saya jawab ya terserah yang mengubur, karena masalah begitu lebih memperhatikan kepentingan orang yang hidup daripada yang mati,” katanya.
Minggu, 6 September 2015, Mbah Muchit pergi untuk selamanya. Ia dimakamkan di sebuah pekuburan tepi sungai di samping makam istrinya, Siti Farida, di sebuah kota yang dicintainya sepanjang hayat: Jember. (bejat)