Bintang Pos, Surabaya – Kartu perdana telepon seluler seperti SIM card, Micro SIM card, atau Nano SIM Card yang biasa ditemui di pasaran dengan harga terendah Rp 2.000-bahkan ada yang gratis, tak lama lagi bakal melambung jadi Rp 100 ribu.
Wacana untuk mengatrol harga kartu perdana ini sedang digodok oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) demi menekan tingkat churn rate alias nomor hangus tak jadi pelanggan aktif.
Tercatat, setiap bulannya ada 20% nomor telepon yang churn rate di industri. Tren ini sejatinya telah berlangsung lama sejak fenomena calling card seiring penawaran operator yang menggoda untuk berpindah layanan setiap ada program promo terbaru.
Selain itu, harga SIM card mau dibikin kembali mahal seperti di era 2000-an awal karena BRTI ingin menekan trafik sambungan langsung internasional (SLI) yang dinilai ilegal melalui akses voice over internet protocol (VoIP).
Berdasarkan catatan maraknya trafik SLI ilegal menyebabkan munculnya potensi pendapatan industri telekomunikasi Rp 770,8 miliar hilang dan potensi pemasukan Rp 206,19 miliar tak diterima negara.
Praktik memanipulasi trafik terminasi biasanya dilakukan dengan mengubah panggilan dari luar negeri yang berasal dari VoiP dengan membuatnya seolah-olah panggilan lokal ke sesama pelanggan dari satu operator.
Alat yang digunakan adalah Sim Box yang dijual di Singapura sekitar Rp 7,5 juta. Beberapa tahun lalu pernah terungkap satu mesin diisi 30 nomer fixed wireless access (FWA) untuk mengubah percakapan seolah-olah panggilan lokal.
Masih Wacana
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto, usulan BRTI untuk menaikkan harga SIM Card ini ada di dalam draf revisi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi No. 23 tahun 2005.
“RPM ini belum diuji publik dan masih dalam tahap proses. Belum tahu kapan dilaksanakan karena masih dikaji di internal Kominfo. Kalau surat dari BRTI sudah dikirimkan cukup lama,”ungkapnya, Selasa (3/7/2013).
Yang menjadi alasan harga SIM card naik jadi Rp 100 ribu tak lain karena selama ini harga kartu perdana dijual terlalu murah. “Sehingga kadang orang ada yang mudah saling ganggu dan habis itu dibuang. Akibatnya, penomoran yang harusnya sumber daya terbatas jadi boros di operator,” jelasnya lebih lanjut.
Selain itu, harga kartu perdana yang murah diiringi bonus jor-joran dari operator, membuat SIM card sering kali dijadikan alat untuk promosi dan cenderung mengarah spamming. Misalnya, SMS tentang penawaran kredit tanpa agunan (KTA) yang sering tak diinginkan di inbox ponsel pelanggan.
Gatot mengakui bahwa kebijakan ini sangat sensitif. Itu sebabnya, pemerintah harus berhati-hati dengan kenaikan angka tersebut dan harus mempertimbangkan nilai keekonomiannya–meskipun dalam draft aturan ini, BRTI dalam fungsi pengawasan dan pengendalian juga dapat menetapkan harga minimal yang lebih tinggi mempertimbangkan situasi yang berkembang.
“Pasal 6 draft revisi RPM tersebut menyebutkan kartu perdana wajib dijual dengan harga minimal Rp 100 ribu. Ini belum termasuk nilai deposit prabayarnya,” jelasnya.
Selanjutnya, setiap penyelenggara telekomunikasi juga dilarang menjual lebih dari lima kartu perdana untuk satu calon pengguna. Nomor yang tidak aktif selama dua bulan terus-menerus wajib segera di nonaktifkan dan didaur-ulang.
Ketentuan lain dalam draft aturan tersebut adalah nomor daur ulang yang akan dijual kembali wajib dicatat history-nya dan dipastikan tidak ada kewajiban yang beralih kepada pengguna berikutnya.
“Langkah semacam itu bisa saja diterapkan karena alokasi nomor yang diberikan pemerintah kepada operator justru tidak digunakan secara efisien. Pengetatan registrasi juga diharapkan dapat menekan penyalahgunaan jasa telekomunikasi,” pungkasnya. (dtk)