JAKARTA- Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis murka saat mendengar salah seorang perwira polisi di Pekanbaru, Riau, terlibat penyeludupan 16 kilogram sabu. Bahkan, dengan tegas jenderal bintang empat itu meminta kenapa tidak ditembak mati saja?
Pantas saja Idham marah besar lantaran penyalahgunaan narkotika menjadi prioritas yang harus dibasmi. Bahkan, berulang kali mantan Kepala Bareskrim Polri itu mewanti-wanti anggota Polri agar tidak main-main dengan narkoba. “Kalau polisi yang kena narkoba, hukumannya harus mati. Karena, dia sudah tahu hukum dan undang-undang,” ungkap Idham.
Idham menegaskan sejak diangkat menjadi Kapolri, dia tidak pernah mencabut perintahnya untuk menindak bandar narkoba. Dia juga sering mencereweti para direktur reserse narkoba di seluruh Polda untuk betul-betul mengamankan barang bukti.
Termasuk melakukan tes urine kepada personel dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkoba. “Saya sudah bilang sama direktur narkoba jangan takut-takut sama bandar narkoba. Kalau tidak, saya cari pemain pengganti. Jadi, saya ingin semua direktur narkoba jangan kaya ayam sayur,” ungkapnya.
Tak hanya Kapolri, Kapolda Riau Irjen Agung Setya juga murka saat mengetahui oknum perwiranya terlibat penyelundupan sabu. Dengan tegas Agung mengaku tak lagi menganggap Kompol Imam sebagai anggota. Bahkan, dia menyebut sindikat narkoba, termasuk Kompol Imam, sebagai pengkhianat bangsa. “Saya berharap hakim memutuskan hukuman yang layak untuk pengkhianat bangsa ini,” tutur Agung.
Seperti diketahui, jajaran Direktorat Reserse Narkoba Polda Riau menangkap dua orang terkait peredaran narkotika di Jalan Soekarno-Hatta (Soetta) Pekanbaru, Jumat (23/10/2020) malam. Salah satu tersangkanya Kompol Imam. Penangkapan perwira polisi itu berlangsung dramatis.
Polisi berpakaian preman terlibat kejar-kejaran dengan pelaku hingga akhirnya berhasil ditangkap di Jalan Soekarno-Hatta, Pekanbaru. Penangkapan tersebut juga menyita perhatian warga sekitar. Kompol Imam tumbang seketika saat peluru panas bersarang di punggungnya. Sang oknum dilumpuhkan sesama polisi karena diduga sempat melawan saat dilakukan penangkapan. Polisi menemukan 16 kilogram sabu siap edar.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai polisi menyandang tugas yang berat, apalagi di bagian reserse kriminal. Polisi dituntut menuntaskan kasus dengan cepat yang membuat kesehatan jiwa terganggu. “Apa barang yang bisa mendongkrak stamina dalam tempo cepat dan memperbaiki suasana hati? Narkoba,” kata Reza.
Menurut dia, kondisi ini membuat polisi rentan. Pasalnya, selain soal kasus, polisi dibebani tuntutan organisasi, tekanan masyarakat, intervensi politik, kejahatan yang semakin kompleks, serta masalah pribadi. Masalah ini sulit dihadapi karena keterbatasan stamina seseorang. “Ironis, memang, polisi bisa saja melarikan diri ke narkoba justru agar bisa menyelesaikan tugas dan menyesuaikan diri dengan segala kompleksitas tadi,” ujar Konsultan Lentera Anak Foundation itu.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Jakarta itu menjelaskan jika hal itu terjadi, harus ada peran Polri secara keseluruhan. Korps Bhayangkara perlu menata tugas dan memperhatikan kesehatan personel. “(Beban) ini jelas tidak bisa dipenuhi oleh personel sendiri,” kata Reza.
Namun, alumnus Universitas Gadjah Mada itu memandang polisi tersandung kasus narkoba kebanyakan karena motif ekonomi. Mereka yang terlibat narkoba bukan sebagai pemakai, melainkan pengedar atau penjual. Kondisi ini terlihat dalam kasus polisi, R dan A, yang dinas di Polda Jawa Timur.
Mereka ditangkap karena terlibat kasus narkoba. “Kalau dua yang terakhir ini tampaknya motifnya semata-mata adalah ekonomi, kerakusan, keinginan memperkaya diri sendiri lewat cara jahat,” ungkap Reza.
Polisi penjual narkoba, kata dia, dapat disebut sebagai korupsi (drug-related police corruption). Dia berharap kasus itu tidak ditutup-tutupi hanya demi nama baik Polri, seperti kasus brigadir jenderal (brigjen) yang didemosi karena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Pengungkapan hal yang sejatinya memalukan itu berpotensi menumbuhkan kepercayaan dan penghormatan publik terhadap institusi kepolisian,” tandasnya.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengungkapkan tindakan tegas terhadap pelaku narkoba, termasuk anggota polisi, merupakan bentuk komitmen pimpinan Polri dalam memberantas narkoba. Artinya, siapa pun yang terlibat, termasuk anggota juga harus ditindak. “Komitmen Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis sangat jelas dan tegas. Anggota yang terlibat harus dihukum mati karena sebenarnya dia tahu undang-undang dan dia tahu hukum,” ungkapnya.
Argo menjelaskan, sepanjang Januari hingga Oktober 2020 sebanyak 113 polisi dipecat karena melakukan pelanggaran berat. Dari jumlah tersebut terbanyak kasus narkoba. “Tindakan tegas polisi yang terlibat berbagai pelanggaran berat khususnya narkoba dipecat,” ucapnya.
Menurut Argo, para oknum polisi yang terlibat kasus narkoba tersebut sudah ada yang inkrah dan masih berproses di persidangan. “Kami minta hakim oknum anggota yang terlibat narkoba dihukum mati saja,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengapresiasi Kapolda Riau dan jajarannya yang berhasil menangkap dan menembak oknum perwira polisi yang terlibat penyelundupan sabu 16 kilogram. Hal ini memperlihatkan sekaligus membuktikan bahwa Polda Riau tegak lurus pada komitmen Kapolri dalam pemberantasan peredaran narkoba. “Saya apresiasi Pak Kapolda Riau dan jajarannya yang telah menembak Kompol Imam karena terlibat penyelundupan sabu,” tuturnya.
Politikus PDIP ini sependapat dengan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis bahwa anggota Polri yang terlibat dalam kasus peredaran narkoba harus dihukum mati. Sebagai aparat penegak hukum, kata dia, anggota Polri tahu persis pelanggaran dan konsekuensi hukumnya. “Saya sependapat dengan Pak Kapolri. Kalau ada anggota Polri yang terlibat peredaran narkoba, dia harus dihukum mati karena sebenarnya dia tahu undang-undang dan dia tahu hukum, dan sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewajiban hukum untuk memberantas justru terlibat,” ujarnya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menegaskan institusi Polri merupakan serambi muka yang memperlihatkan politik hukum negara dalam pemberantasan peredaran narkoba, meskipun ada juga institusi lain yakni Badan Narkotika Nasional (BNN). “Semoga kerja hebat dan berani Polda Riau bisa dijadikan contoh daerah lain,” harap Arteria.
Dia juga menyarankan agar mereka yang terlibat dalam tim penangkapan Kompol IZ diberikan promosi jabatan dari Kapolri. Mereka telah membuktikan profesionalismenya dalam mengungkap kasus tersebut. “Mereka itu telah membuktikan dirinya sebagai patriot-patriot merah-putih, yang tahu harus memilih mengedepankan kepentingan negara daripada melindungi oknum polisi walau dari satu institusi,” tuturnya.
Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengatakan, keterlibatan oknum Polri atau TNI sebenarnya bukan berita baru. “Dari dulu kan sering disinyalir bahwa narkoba itu patut diduga melibatkan aparat. Dulu kan TNI-Polri karena dominasi TNI sangat tinggi dulu, sekarang Polri. Dan, memang, kalau kita ikuti, kasus-kasus pemecatan anggota Polri, paling banyak sekitar 80% itu karena terlibat narkoba,” ujar Trimedya.
Politikus PDI Perjuangan ini menuturkan, perlu dilakukan evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh sumber daya manusia (SDM) di tubuh Polri. “Menurut saya apakah Direktorat Narkoba itu masih perlu di Polri? Atau kita serahkan semuanya ke BNN,” katanya.
Menurutnya, Kementerian PAN-RB bersama dengan Polri perlu mengkaji keberadaan Direktorat Narkoba di Polri, apakah lebih banyak manfaat atau justru sebaliknya. “Termasuk bagaimana perekrutan polisi yang berdinas di sana, itu dikaji dulu. Mungkin MenPAN-RB bersama Polri mengkaji dulu. Kalau misalnya lebih banyak mudaratnya, ya keluarkan saja,” tuturnya. sindonews