darulhikamalfikri.com, Lamongan – Persoalan PP 85 Tahun 2021 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus menuai penolakan dari sejumlah pihak dan daerah. Salah satunya adalah sejumlah nelayan dan pelaku usaha perikanan di Lamongan.
Melalui forum diskusi seputar nelayan yang dihimpun oleh Locus Pemuda Maritim dan DKC Garda Bangsa Lamongan bersama Ketua DPRD Lamongan ini, mereka menyepakati akan melayangkan nota keberatan yang kemudian dikirimkan ke Pemerintah Pusat melalui Ketua DPRD Lamongan, Kepala Pelabuhan setempat, dan Bupati Lamongan.
Turut hadir dalam diskusi tersebut di antaranya sejumlah pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Lamongan, pengurus Asosiasi Pengusaha Ikan Lamongan (ASPILA), perwakilan dari tiap Rukun Nelayan di Lamongan, dan para aktivis mahasiswa dari beberapa kampus di Lamongan.
Salah satu pemantik dalam diskusi ini, Pembina ASPILA Ir Sudarlin mengatakan, dalam situasi pandemi seperti ini semua sektor sangat terdampak, tak terkecuali sektor kelautan dan perikanan. Oleh karena itu, menurutnya, seharusnya pemerintah hadir untuk meningkatkan kesejahteraan umum, tidak malah memberikan beban bagi nelayan lewat aturan PP 85 Tahun 2021 tersebut.
Sudarlin menjelaskan, jika aturan baru itu mengganti beleid sebelumnya, yakni PP Nomor 75 Tahun 2015 pada masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti. Saat itu, tarif PNBP naik dari sebelumnya sebesar 1 persen yang tercantum dalam PP Nomor 19 Tahun 2006. Untuk kapal 30-60 GT misalnya, tarifnya menjadi 5 persen.
“Kami ingin KKP tidak menarik PNBP kepada nelayan dengan ukuran kapal 5-10 gross ton (GT). Sebab menurut UU Nomor 7 Tahun 2016, nelayan ini masuk dalam kategoti kelompok nelayan kecil,” ujar Ir Sudarlin.
Mengacu lampiran beleid yang baru, Sudarlin membeberkan, kapal skala kecil dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif PNBP pra produksi sebesar 5 persen, kapal skala menengah dengan ukuran 60-1.000 GT dikenakan tarif 10 persen, dan kapal skala besar dengan ukuran lebih dari 1.000 GT dikenakan tarif 25 persen.
Sedangkan untuk PNBP pasca produksi, tarif PNBP untuk kapal kurang dari 60 GT sebesar 5 persen, dan tarif untuk kapal lebih dari 60 GT sebesar 10 persen.
Jadi, rumus besaran biaya yang perlu dikeluarkan nelayan untuk PNBP pra produksi adalah tarif PNBP × produktivitas kapal × Harga Patokan Ikan (HPI) x ukuran kapal (GT). Adapun rumus untuk PNBP pasca produksi adalah tarif PNBP x nilai produksi ikan pada saat didaratkan.
“Seharusnya nelayan kecil ini tidak boleh ada tarikan PNBP. Lebih baik tarif PNBP 5 persen tersebut dikaji ulang. Nelayan kecil dengan ukuran kapal 5-10 GT jangan ditarik, masih mending yang 30 GT ke atas,” bebernya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Rukun Nelayan Blimbing Paciran, Nur Wahid M.Pd. Menurutnya, PP baru yang telah diterapkan dan akan dilaksanakan per tanggal 1 Januari 2022 tersebut tidak sesuai dengan apa yang dialami para nelayan di Lamongan.
“Nelayan di sini itu terbesar se-Indonesia. Di kelurahan Blimbing saja ini ada 6 ribu orang nelayan, belum termasuk pendatang. Selama pandemi kita sangat terdampak, saat ini kita malah dihadapkan pada PP 85 2021 yang justru malah memberatkan,”
“Belum lagi jika para nelayan kita disibukkan dengan urusan surat kapal yang rumit dan jumlahnya banyak. Nelayan juga disuruh untuk membuat catatan hasil tangkapan ikan melaut dan lain-lain. Pendapatan ABK itu tidak gaji tapi bagi hasil, 70 persen milik ABK dan 30 persen milik pemodal, dengan PP ini, maka pendapatan ABK jelas akan berkurang, baik ABK kapal kecil maupun besar,” papar Wahid.
Tak hanya itu, Wahid menjelaskan, harga ikan bisa berubah tiap waktu sesuai ukuran dan kualitasnya. Oleh sebab itu, jika pemerintah ingin benar-benar membantu nelayan untuk memenuhi kewajibannya, maka harus segera menuntaskan persoalan ini agar nelayan tidak merugi.
“Kita sudah hampir lelah untuk terus menyuarakan keluhan dan keberatan para nelayan ini. Sebelum demonstrasi, kita memilih untuk melayangkan nota keberatan ini dulu, dan menunggu respon dari pemerintah pusat. Terimakasih kepada PKB yang selalu memperjuangkan aspirasi nelayan selama ini,” tandasnya.
Sementara itu, Advokat Muda Lamongan, M Yusuf Bachtiyar yang juga hadir sebagai pemantik mengungkapkan, bahwa saat ini telah dilakukan Judicial Review oleh sejumlah stakeholder terhadap PP 85 Tahun 2021. Selain itu, ada celah untuk mengajukan keberatan yang bisa diajukan kepada Instansi Pengelola PNBP, dalam hal ini KKP.
“Telah dilakukan Judicial Review pada beberapa poin yang dianggap memberatkan nelayan, contohnya PNBP Cantrang yang mencapai Rp 268 ribu. Apabila keberatan, maka bisa diajukan kepada Instansi Pengelola PNBP dalam hal ini KKP, karena lebih bayar, nihil dan kurang bayar,” terang pria yang akrab disapa Bachtiyar.
Lebih jauh Yusuf memaparkan, dalam hal pengajuan keberatan untuk wajib bayar ini, alasannya bisa karena kesulitan likuiditas (tak memiliki uang cash) atau karena keadaan kahar dan kebijakan pemerintah dengan memperhatikan kearifan lokal serta sosial budaya.
“Bentuk ketetapan atas keberatan PNBP ini bisa penundaan, pengangsuran dan pengurangan. Jika wajib bayar masih keberatan atas ketetapan instansi pengelola, maka bisa mengajukan gugatan ke PT TUN,” ucapnya.
Sebagai informasi, perhitungan tarif PNBP ini dilakukan oleh lintas kementerian bersama Kementerian Keuangan. Kemenkeu mengatur besaran tarif, sementara HPI dan produktivitas kapal ikan berdasarkan perhitungan KKP.[brj]