Bintang pos, Mojokerto – Aneka jenis patung batu karya warga Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, mampu menembus pasar ekspor seperti Amerika, Kanada, Australia, Jerman dan India, karena kualitas batu dan motif pahatan yang indah.
“Kualitas batu di sini lebih bagus daripada Bali dan Yogyakarta, karena itu order dari luar negeri seringkali diambil dari sini,” ungkap salah seorang pemahat patung batu di Dusun Jati Sumber, Trowulan, Widono Langgeng, Rabu.
Widono menjelaskan ada dua jenis batu yang digunakan perajin patung Trowulan, yaitu ‘Green’ dengan tekstur yang lebih empuk sehingga lebih mudah pengerjaaannya, serta ‘Black’ yang relatif lebih keras sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengerjakannya.
“Patung berbahan batu ‘green’ bisa dikerjakan dalam dua hari, sedangkan patung berbahan batu ‘black’ biasa dikerjakan dalam empat hari,” katanya.
Untuk kebutuhan bahan baku, para perajin mendatangkan batu kali dan batu gunung dari Pare, Kediri, Malang, dan Pacitan dengan harga Rp2 juta/rit (sekali angkut dengan truk).
“Batu dari daerah tersebut memiliki tekstur yang keras dan padat sehingga menghasilkan patung yang tidak cepat keropos,” katanya.
Untuk menciptakan patung yang terkesan kuno dan nilai jualnya lebih mahal, para perajin memoles dengan HCL (asam klorida), gambir dan getah pohon pisang.
“Dengan polesan bahan-bahan tersebut, patung akan berwarna kuning kehijauan seperti lumut, sehingga terkesan natural,” katanya.
Pemilik sebuah “home industry” (industri rumahan) patung di Jalan Raya Trowulan itu menambahkan Patung Buddha, Syiwa dan Ganesha merupakan model favorit pembeli.
Ia mematok harga bervariasi antara Rp500.000,- hingga Rp30 juta tergantung ukuran dan tingkat kerumitan. “Patung paling mahal adalah patung dengan posisi duduk karena memerlukan batu berukuran besar,” katanya.
Ketika ditanya tentang omzet, Widono mengatakan pendapatannya masih stabil dalam kisaran Rp35 juta per bulan dengan laba bersih mencapai 50 persen.
“Galeri seni di Surabaya, Yogyakarta dan Bali merupakan pusat penjualan terbesar bagi patung batu Trowulan,” katanya.
Widono mengatakan para perajin terkendala masalah pemasaran karena hanya mengandalkan “order” dari ketiga kota tersebut. “Kami kesulitan memasarkan langsung ke luar negeri karena tidak ada ‘channel’ dan kami juga tidak bisa berbahasa Inggris,” katanya.
Perajin yang menekuni usahanya sejak tahun 1996 itu menambahkan Pemerintah Kabupaten Mojokerto juga tidak pernah memberikan bantuan modal untuk pengembangan usaha.
“Usaha untuk membantu pemasaran hasil produksi para perajin juga tidak ada,” katanya. (Ant-eris)