JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diminta untuk memberikan jawaban terkait tujuh juta data pemilih yang masih misterius. Sekitar tujuh juta data pemilih misterius tersebut merupakan sisa dari sekitar 14 juta data pemilih yang belum memiliki nomor induk kependudukan (NIK).“Artinya, sisa sekitar 7 juta data pemilih yang diminta KPU kepada Kemendagri untuk disisir ulang. Namun, Kemendagri terlihat seperti ogah-ogahan menanggapi permintaan KPU,” kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Jumat (1/11).
Ray mengatakan, Kemendagri seharusnya sigap dan segera melaksanakan penyisiran ulang terhadap data tanpa NIK yang sudah diserahkan KPU sejak Rabu (30/10). “Kemendagri malah sibuk membuat analisis tentang kemungkinan sisa data bermasalah tersebut,” kata Ray.
Akibatnya, lanjut Ray, hingga kini belum ada sinyal dari Kemendagri apakah tujuh juta data yang dimaksud KPU memang tidak ada NIK atau ada. “Malah, yang terlihat adalah sikap Kemendagri yang seperti memosisikan KPU tidak dapat bekerja optimal,” ujarnya.
Tentu saja, kata Ray, sikap Kemendagri ini akan membuat posisi KPU dalam keadaan sulit. Bila tidak ada jawaban dari Kemendari, lanjut dia, artinya ada sekitar tujuh juta data pemilih yang misterius atau sebaiknya dicoret karena tidak memiliki NIK. “Hal ini akan menambah syak wasangka banyak kalangan atas kejurdilan pelaksanaan pemilu,” kata Ray.
Belum sempat terjawab nasib tujuh juta data pemilih tersebut, lanjut Ray, Kemendagri malah menyatakan ada sekitar 30 juta pemilih yang ada di daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang tidak tercantum di daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP). “Maka, jika ditotal berarti ada sekitar 37 juta pemilih yang terancam tidak dapat mempergunakan hak pilih,” katanya.
Menurut Ray, nasib 37 juta pemilih tersebut hanya jadi bahan perdebatan antara KPU dan Kemendagri. Oleh karena itu, dia berharap agar Kemendagri segera memastikan nasib tujuh juta data pemilih yang dinyatakan KPU belum memiliki NIK dan sebaliknya, KPU memastikan nasib 30 juta yang belum masuk DPSHP.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kemendagri, dan DPR harus bekerja sama untuk mengupayakan DPT yang diyakini akurasi dan validasinya secara bersama. Jika untuk meraih DPT yang akurat tersebut penetapan DPT harus dimundurkan kembali, menurut Arif, tidak masalah.
“Logistik kan baru prakualifikasi. Jadi, kalau DPT ditunda tidak akan berpengaruh. Anggaran juga kan masih kami upayakan untuk jadi anggaran 99. Jadi, kalau ditunda pengadaan logistik pemilu tidak akan terhambat,” ujarnya.
Menurut Arif, uji data pemilih di lapangan memang diperlukan dengan mengambil sampel yang lebih besar dan di daerah yang lebih luas. Karena, kata dia, bisa saja data Kemendagri juga didasarkan pada data lama yang validitasnya diragukan. “Tiga hari jelas ga cukup untuk menguji dan memperbaikinya. Makanya, sejak awal kami minta penyandingan itu bersama-sama, tapi kan ga pernah terjadi,” kata Arif.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, agar tidak terjadi prasangka buruk pada penyelenggaraan pemilu, lebih baik kisruh daftar pemilih tetap (DPT) diselesaikan terlebih dulu. Dia menilai, apabila semua pihak bisa duduk bersama untuk menyelesaikan masalah itu, dalam waktu dua minggu akan selesai.
“Persoalan DPT tidak secara langsung memengaruhi proses pemilu yang akan ditetapkan. Ini jadi persoalan kalau pada saat hari H namun DPT tidak benar,” katanya.
Dia menyarankan KPU mengajak partai politik dalam memvalidasi daftar pemilih tetap agar tidak ada masalah pada masa mendatang. “Sehingga, parpol tidak sampai merasa tidak dilibatkan lalu protes setelah terjadi kesalahan,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menantang Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengecekan kembali daftar penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Karena, temuan pemerintah di lapangan menunjukkan, sebanyak 30 juta penduduk yang masuk daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) tidak terdaftar dalam DPT. rep