BintangPos – Kampanye penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 telah berjalan lebih sebulan. Kampanye dimulai pada 26 September dan akan berakhir pada 5 Desember. Meski terbilang “sunyi”, kampanye tetap menyisakan masalah-masalah di dalamnya, terutama terkait penerapan protokol kesehatan yang menjadi konsentrasi banyak pihak karena pilkada digelar di saat pandemi. Kampanye merupakan tahapan penting dalam membuka ruang gagasan, visi, dan misi yang akan dilakukan calon kepala daerah jika nanti terpilih. Pada masa kampanye inilah para pemilih bisa lebih yakin ke kandidat yang akan dipilih, atau malah sebaliknya.
Dalam konteks pilkada di tengah pandemi Covid-19, persoalannya menjadi lebih kompleks. Salah satu yang khas dari kampanye adalah selalu penuh hiruk pikuk, ramai, di antaranya dilakukan dalam bentuk kampanye rapat umum. Kandidat kerap mendatangkan artis. Di sinilah biasanya terjadi unjuk kekuatan antarpendukung.
Nah, atas dasar pertimbangan kebaikan bersama demi mencegah penularan Covid-19, rapat umum yang menjadi salah satu metode kampanye ini dihilangkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun kampanye perjumpaan fisik yang masih boleh dilakukan adalah tatap muka/pertemuan terbatas dengan jumlah peserta maksimal 50 orang. Sebagai konsekuensi dari aturan ini, jika ada yang melanggar, maka diberi surat peringatan dan dibubarkan kegiatan kampanyenya.
Potret Kampanye
Sejauh ini metode kampanye pertemuan terbatas menjadi pilihan dominan yang dilakukan oleh para kontestan di pilkada yang digelar di 270 daerah. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selama sebulan pertama kampanye, 26 September-25 Oktober, tercatat 39.303 kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dilakukan. Ini jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan metode kampanye lainnya, seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK) 1.698, penyebaran bahan kampanye 1.915, dan kampanye daring 247. Data ini menunjukkan metode kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas masih menjadi primadona bagi pasangan calon dalam melakukan kampanye.
Kita bisa menganalisis secara sederhana mengapa bentuk kampanye pertemuan terbatas sangat tinggi frekuensinya. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena kampanye rapat umum sudah dihilangkan. Pasangan calon kepala daerah kemudian mengonversi pertemuan besar tersebut dalam pertemuan-pertemuan kecil seperti tatap muka dengan 50 peserta. Memang ini dibolehkan sepanjang tidak melanggar protokol kesehatan.
Secara sosiologis, hal ini juga sangat bisa dipahami karena situasi pandemi ini membuat kita harus menyesuaikan dengan banyak aturan, di antaranya protokol kesehatan. Hal-hal yang dulunya biasa dilakukan, boleh, sekarang menjadi tidak boleh atau dibatasi. Inilah salah satu konsekuensi dari keputusan melanjutkan pelaksanaan pilkada di saat pandemi, dengan catatan patuh pada protokol kesehatan.
Pilihan pertemuan terbatas yang sangat banyak, tentu berimplikasi pada potensi penyebaran Covid-19 jika tidak dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang maksimal. Temuan Bawaslu menunjukkan bahwa tidak semua peserta pilkada sudah benar-benar menerapkan protokol kesehatan dalam kampanyenya. Paling tidak selama sebulan masa kampanye sudah terjadi 306 pelanggaran protokol kesehatan yang kemudian diberi peringatan oleh Bawaslu.
Sebanyak 108 di antaranya dibubarkan oleh Bawaslu bekerja sama dengan pihak terkait. Tindakan yang dilakukan Bawaslu sesuai dengan Pasal 88C ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa Bawaslu berwenang terhadap dua hal, yaitu memberikan peringatan tertulis dan menghentikan atau membubarkan kegiatan kampanye.
Jadi, jika berkaca pada kasus-kasus di atas, Bawaslu sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal pengawasan, terutama dari sisi penerapan protokol kesehatan dan teknis kampanye sesungguhnya melakukan apa yang menjadi kewenangan konstitusionalnya. Hanya, persoalan protokol kesehatan ini dimensinya berhubungan dengan banyak pihak lain yang tidak semuanya terkait langsung dengan tahapan pilkada. Upaya-upaya peringatan tertulis hingga pembubaran telah dilakukan oleh Bawaslu terhadap sejumlah pelanggaran protokol kesehatan yang menjadi syarat penyelenggaraan pertemuan terbatas dan tatap muka. Keseluruhan tindakan Bawaslu tidak lain dimaksudkan untuk menjaga proses pilkada semakin baik dari sisi prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil serta terhindar dari potensi kluster Covid-19 karena pilkada.
Kerja Bersama
Tahapan kampanye memang tidak hanya berkaitan dengan hak peserta pilkada untuk menyampaikan gagasannya kepada pemilih. Khusus kaitannya dengan penegakan protokol kesehatan, Bawaslu tidak hanya sendirian. Ada pemerintah, Satgas Penanggulangan Covid-19, Polri, TNI, dan kejaksaan yang menjadi satu dalam pokja yang diinisiasi Bawaslu. Belum lagi tim lain yang juga mempunyai konsentrasi yang sama, yaitu mencegah menyebarnya virus Covid-19.
Dalam melakukan pengawasan kampanye, kerja sama dilakukan Bawaslu dengan banyak lembaga, misalnya saja untuk mengantisipasi kampanye hitam, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, kampanye berbasis isu SARA, Bawaslu menggandeng Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan KPU untuk percepatan penindakan, penurunan materi media sosial (take down) yang kontennya dianggap melanggar. Demikian juga dalam upaya antisipasi pelanggaran kampanye di media cetak, penyiaran, Bawaslu menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan juga Dewan Pers.
Pada bagian lain, kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN) yang masuk radar di antara kerawanan tinggi dalam Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2020. Bawalsu mencatat, sampai tengah Oktober sebanyak 744 temuan ASN yang diduga tidak netral. Dalam konteks ini Bawaslu telah bekerja sama dengan KASN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemepan RB) dengan nota kesepahaman dan aksi pencegahan bersama.
Kewenangan pengawasan yang sangat luas dan di antaranya kemudian berhubungan dengan kewenangan lembaga lain, membuat Bawaslu harus senantiasa bergandengan tangan dan melakukan sinergi dengan lembaga terkait.
Lantas bagaimana selanjutnya? Mencegah potensi pelanggaran, termasuk potensi pelanggaran protokol kesehatan, sejatinya harus menjadi concern semua pihak. Tidak hanya penyelenggara tetapi juga peserta pilkada dan pemilih. Peran-peran yang bisa diambil dari sisi pencegahan, misalnya, tidak melakukan pertemuan terbatas lebih dari 50 orang dengan tetap menggunakan memakai masker, menjaga jarak, dan lain-lainnya. Sejatinya ini sangat mungkin dikendalikan sendiri oleh peserta pilkada. Komitmen saling menjaga menjadi sangat penting.
Demikian pula dengan pemilih, apalagi penyelenggara. Kalau satu dari tiga pihak ini tidak memegang komitmen bersama, tentu ancaman penularan Covid-19 mengintai kita semua. Kita semua yang akan rugi jika itu terjadi. Pada saat yang sama, kita harus tetap memastikan bahwa pilkada di saat pandemi ini benar-benar patuh pada protokol kesehatan tetapi juga menjamin kualitas prosesnya benar-benar terawasi dan terjaga. Harapan kita, jika kualitas prosesnya minim terjadi pelanggaran, maka diharapkan hasilnya juga akan berkualitas.
Nah, pilkada sehat, pilkada berkualitas yang terawasi proses dan hasilnya adalah keinginan kita bersama. Semoga.
M Afifuddin
Anggota Bawaslu RI (sindo)